xxx | Profil
Drs KH Muallif Sahlany: Sempat Jualan Sate, Meraih Mimpi |
Ia merupakan salah satu anggota Bani Sholeh. Dia adalah suami dari Dra. Hj. Romlah Djumali bin Muhsinah bin Soleh. Setelah melalui masa kecilnya dengan keterbatasan, karena orang tuanya termasuk keluarga yang pas-pasan, melalui suratan takdirnya ikut berjualan sate pada seorang pedagang sate asal Madura di Kota Solo, akhirnya bisa melanjutkan pendidikan dan kelak dia menjadi dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Muallif lahir di dusun Ngrukun Krikil Kalijambe Sragen pada 17 Agustus 1942. Sebenarnya penetapan tanggal lahir nya ini hanya dikira-kira, yaitu sekitar tahun masuknya Jepang ke Indonesia, karena waktu itu orang tua Muallif belum mencatat secara resmi dengan model kalender Masehi. Mualif lahir dari pasangan Sahlan dan Mukinem (Maryam). Dia merupakan anak kedua dari 9 bersaudara. Kesembilan saudara kandung itu adalah Siti Aminah, Muallif, Jannatun, Jannatin, Muannam, Mulyono, Munisah, Munasri, Martinah. Dari kesembilan bersaudara itu, Muallif adalah anak laki-laki tertua, sehingga umumnya anak di desa anak laki-laki tertua dituntut menjadi teladan bagi adik-adiknya.
Muallif kecil mendapatkan ilmu di mulai dari orang tuanya. Ayahnya adalah seorang abdi dalem dari kraton Solo. Dari kecil Muallif sudah diajari hidup prihatin, sehabis pulang sekolah dia harus mencari rumput untuk makan ternak, memelihara tanaman di sawah dan membantu mengasuh adik-adiknya. Dari pendidikan formal, Muallif menempuh pendidikan dasar di SD dan SMP di bawah Yayasan Islam yaumika di dusun tetangga Kaliyoso (1952-1958).
Menyadari bahwa dia laki-laki tertua, maka setamat dari pendidikan menengah, Muallif pergi ke kota Solo yang kurang lebih berjarak 15 Km mencari pekerjaan. Maka ikutlah dia dengan pedagang sate dari madura. Setiap hari dia mangkal di dekat Gedung bioskop Nusukan, kota solo. Terkadang selain mangkal, dia juga menjajakan sate dengan dipikul secara berkeliling. Muallif adalah orang yang tekun dan mempunyai kecerdasan tertentu dalam ilmu pengetahuan. Melihat potensi itu, maka tuannya si penjual sate itu menganjurkan agar Muallif melanjutkan pendidikan lagi. Ia menganjurkan untuk masuk PGA 6 tahun di kota Solo.
Pada tahun 1958, karena memang semangat terhadap ilmu yang tinggi, maka sekalipun pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) di Solo diperuntukkan untuk lulusan sekolah rendah (SR) atau Madrasah rendah (MR), Muallif tidak malu untuk mendaftar ke PGAP. Dia mengulang pendidikan 3 tahun. Maka atas dorongan juragannya, dia mendaftar ke PGAP Solo. Maka tidaklah heran, di kelasnya, Muallif adalah anak terbesar. Hal itu Muallif lakukan demi mendapatkan ilmu agama. Maka tidak heran, di samping karena anak terbesar, ditambah mempunyai otak yang cerdas, maka Muallif termasuk berprestasi di kelasnya. Selama pendidikan di PGA, Muallif mendapatkan beasiswa. Dan ketika lulus PGA (1964) dia langsung ditawari ikatan dinas untuk melanjutkan pendidikan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan kalijaga Yogyakarta.
Di kampus IAIN Yogyakarta, Muallif tetap menunjukkan sebagai mahasiswa yang tekun dan cerdas. Maka tak heran, ketika lulus (1972), Muallif langsung diangkat menjadi dosen tetap Fakultas Tarbiyah di Kampus tersebut, tepatnya dimulai 1 Oktober 1972. Si anak dusun Ngukun, krikilan Kalijambe itu dengan kerja kerasnya akhirnya menjadi dosen pengajar di Perguruan Tinggi negeri di Yogyakarta.
Selain aktif di kampus, Muallif juga pernah mengikuti organisasi ekstra Mahasiswa, dia juga secara kultural mempunyai amaliah Nahdlatul Ulama (NU). Maka ketika memilih istri, Muallif justru mendekati mahasiswi yang aktif di organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi ke NU, yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Maka dia bertemulah dengan perempuan bernama Romlah Djumali, anak seorang kyai yaitu KH Djumali (seorang Kyai di daerah Sleman). Selanjutnya Muallif menikahi perempuan itu di tahun 1968. Dari perkawinan ini melahirkan 4 orang anak, yaitu Abu Hasan, Murtadho, Azzah Zumrud dan Nur Alifah Zulfa.
Tidak seperti pada umumnya dosen yang begitu diangkat menjadi dosen perguruan tinggi, apalagi dia adalah seorang yang datang dari luar daerah, dia akan segera mencari rumah tinggal di sekitar kampus, Muallif tidaklah demikian. Karena permintaan khusus dari mertuanya, dia diminta ikut membantu mengajar di lembaga pendidikan yang digagas oleh mertuanya KH Djumali di desa yang berjarak + 25 Km dari Kota Yogyakarta. Maka jarak sejauh itu, untuk menjalankan tugasnya sebagai dosen ditempuh tiap hari dengan sepeda motor. Di desa Muallif diminta mengajar di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) NU di wilyah Tempel dan Sekolah Tehnologi Menengah (STM) di daerah Salam Magelang. Permintaan itu diikuti dan menjadi Muallif seorang pendidik yang mengajar di berbagai sekolah menengah di daerah pinggiran Barat provinsi Yogyakarta.
Pada tahun 1972, dia bersama mertua dan tokoh-tokoh masyarakat di lingkup Kecamatan Tempel mendirikan yayasan pendidikan Nurul Huda. Yayasan ini memayungi semua lembaga pendidikan NU di kecamatan itu yang terdiri dari SMP NU Ngosit, SPG NU, SMA NU dan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah Pokoh. Dari beberapa satuan pendidikan itu, Muallif ditempatkan untuk turut mengajar pada satuan-satuan pendidikan menengah atas.
Pada tahun 1984, Muallif dan istri berangkat ke Makkah menuaikan ibadah haji. Dia dipercaya sebagai ketua rombongan jamaah haji Kabupaten Sleman. Sepulang dari haji, oleh jamaah yang dipimpinnya didaulat menjadi ketua pengajian jamaah haji 1984. Gaya kepemimpinannya yang luwes, tidak menggurui dan selalu memberikan penerangan Islam secara santun membuat pengajian jamaah haji angkatan itu bertahan hingga 25 tahun lebih, hinggga sang ketua meninggal dunia nantinya. Dari kelompok pengajian ini, Muallif mengarahkan untuk memobilisir potensi jamaah untuk membangun sebuah masjid di dusun Klisat Sendangagung Minggir Sleman, daerah yang banyak terjadi perpindahan agama karena kurangnya pembinaan.
Pada tahun 1994, Muallif beserta istri mendirikan pesantren khusus untuk anak-anak yatim piatu. Anak-anak yatim diasramakan dalam pondokan dan dibina agamanya. Karena kepeduliannya terhadap anak-anak yatim ini Muallif dikenal dengan di beberapa kalangan seperti Perusahaan-perusahaan pemberi sponsor untuk anak-anak yatim, bahkan ada seorang pembalap motor Nasional pertama yang berpartisipasi dalam Grand Prix sepeda motor 250 cc, Doni Tata Pradita menganggap Muallif ini sebagai guru spiritualnya. Maka tidak heran setiap kali akan lomba balap Motor, Doni Tata menyempatkan diri bersilaturahmi ke kyai ini dan memberikan bantuan kepada anak-anak yatim yang dibinanya.
Di bidang pemberdayaan ekonomi umat, Muallif berpartisipasi dalam pendirian dua lembaga keuangan mikro, yaitu: 1) pada tahun 1998 membina ikut pendirian Koperasi Pondok Pesantren Nurul Huda yang bergerak pada usaha Unit Simpan Pinjam (USP) yang berlokasi di Ngepos Lumbungrejo Tempel Sleman; dan 2) ikut mendirikan Koperasi Serba Usaha Baitul Mal Wa Tamwil Reja Mulya, Ruko No. 12 Sidorejo baru Selomartani Kalasan Sleman.
Beberapa karya tulis yang sempat diterbitkan adalah buku Perkawinan dan Keluarga yang diterbitkan di Jogyakarta (Sumbangsih Offset, 1988) dan buku Makan dan Makanan Menurut Ajaran Islam yang diterbitkan di lembaga penerbitan dan tahun yang sama.
Selain menjadi pendidik untuk masyarakat, Muallif juga mempunyai obsesi yang tinggi untuk pendidikan agama anak-anaknya. Semua anak-anaknya dimasukkan ke Pesantren, dibiayai pendidikannya hingga ke perguruan tinggi. Selain itu Muallif mempunyai obsesi menyempurnakan pendidikan agama anak-anaknya dengan mengantarkannya melaksanakan ibadah haji. Maka Muallif dengan diam-diam selama 20 tahun setelah haji pertamanya tahun 1984 dia menabung untuk mampu memberangkatkan semua anaknya ke tanah suci. Maka tercapailah cita-cita yang terakhir itu pada tahun 2004 ia dengan keempat anaknya bersama-sama menuaikan haji. Dia selalu mengatakan kepada anak-anaknya bahwa dia tidak akan meninggalkan harta bila dia meninggal kelak, namun ilmu pengetahuan yang kalian dapat di pesantren dan pendidikan formal itu yang bisa kutinggalkan. Maka dengan memberangkatkan semua anaknya ke haji menjadi obsesi sendiri baginya dalam mendidik anak.
Pada tahun 2009, Muallif sempat pergi ke Haji lagi untuk ketiga kalinya. Namun ketika pulang dari haji yang terakhir ini, Muallif diberi ganjaran menderita hat stroke yang tidak kunjung sembuh hingga akhir hayatnya. Pada awal bulan ramadhan di tahun 2011, Muallif terjatuh dari pembaringannya di tempat tidur ke lantai. Muallif tidak bisa bangun sendiri. Ketika itu keluarga melarikannya ke rumah sakit Murangan sleman. Muallif di rumah sakit bertahan hingga menunggu hari mulia, tepat pada tanggl 17 Ramadhan “Hari Nuzulul Qur’an” di tahun 2011 Muallif dipanggil Sang Pencipta. []
REFERENSI
Mengenang Wafatnya Drs H. Muallif Sahlany, M. Pd. Yogyakarta: tp, 2013
Wawancara dengan Romlah Djumali (Istri Drs Muallif Sahlany) pada 1 Agustus 2014
Drs. H. Muallif Sahlany, M.Pd Drs KH Muallif Sahlany: Sempat Jualan Sate, Meraih Mimpi | |
Dra. Hj. Chodidjah Djumali, Lc., M.A Chodijah Djumali: Perempuan Desa Sekolah ke Negeri Piramida | |
Ny. Hj. Munawwaroh Mengenal lebih dekat Ny. Hj. Munawwaroh Glagahombo (1) | |
K.H. Abdul Muchith Masterpiece Karya K.H Muhammad Abdul Muhith Jejeran: Hiyadl ar-Rabihin fi Makrifati Maaniy Riyadl ash-Shalihin | |
Komarul Munawaroh Sosok Perempuan Tangguh itu Bernama Ny. Qomarul Munawaroh | |
K.H. Abdul Muchith Profil: Kehidupan Keluarga KH Muhammad Abdul Muhith (3) | |
KH. Djumali KH Djumali Menggagas Pendidikan Modern di Desa (1940-an) | |
K.H. Abdul Muchith Profil: Karya-karya K.H Muhammad Abdul Muhith (4) | |
K.H. Abdul Muchith K.H Abdul Muhith, Habiskan Malam Untuk Mutholaah (2) | |
K.H. Abdul Muchith K.H Abdul Muhith, Seorang Otodidak Ulung |