xxx Profil

Chodijah Djumali: Perempuan Desa Sekolah ke Negeri Piramida

Chodijah Djumali adalah salah satu perempuan di keluarga bani Sholeh yang termasuk generasi pertama wanita Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan formal di Universitas Al-Azhar Mesir. pada masa sebelumnya, mereka yang belajar ke sana sebatas mahasiswa laki-laki saja, tidak ada perempuan satupun. Sebab Al-Azhar memang tidak membuka bangku perkuliahan untuk para mahasiswi dari luar Mesir. Namun atas kehendak Allah, di tahun 1964, Chodidijah Djumali bersama enam perempuan lainnya termasuk yang beruntung mendapat undangan terbang menuju Cairo Mesir, memenuhi panggilangan dari universitas Islam tertua d dunia, yaitu Universitas Al-Azhar Asy-Syarif.

Pada peringatan ke-1000 tahun universitas tertua di dunia itu, baru ada kebijakan untuk membuka program untuk mahasiswi perempuan dari luar Mesir. Maka dibuka kesempatan bagi masing-masing negara Islam untuk mengirimkan para mahasiswi wanita berkuliah di negeri Piramid itu. Chodijah Djumali yang saat itu sudah menyelesaikan program sarjana muda (BA) di IAIN Sunan Kaljaga Yogyakarta, termasuk salah satu mahasiswi yang terpilih bersama lima mahasiswi lainnya se-Indonesia untuk secara formal menjadi mahasiswi resmi pertama dari luar Mesir mengikuti perkuliahan formal di kuliyatul banat Jami’ah Al-Azhar Asy-Syarif, Cairo, Mesir. 

 Chodijah dilahirkan di sebuah dusun di Yogyakarta, tepatnya dusun  Pokoh Banyurejo Tempel Sleman Yogyakarta  pada tahun 1942. Ia merupakan anak dari pasangan KH Djumali dari istri pertama Siti Muhsinah yang berasal dari Jonggrangan Sleman. Dari istri pertama ini, Chodijah mempunyai satu orang saudara sekandung yaitu romlah. Sedangkan dari istri yang kedua, Chodijah mempunyai tambahan saudara se ayah 4 orang. Jadinya Chodijah adalah anak pertama dari 6 bersaudara yang kebetulan semua saudara se ayah itu adalah perempuan semua. Secara berturut-turut bisa disebutkan dari yang sulung hingga yang bungsu: Chodijah, Romlah, Mahmudah, Mustainah, Marzuqah dan Syari’ah.  Merasa menjadi anak sulung, barangkali semangat untuk memberi contoh dan teladan bagi adik-adiknya menjadi motivasi tersendiri bagi Chodijah dalam hidupnya untuk selalu harus berhasil.

Pendidikan agama diawali dari pendidikan di bawah bimbingan orang tua. Ayahnya KH djumali  adalah seorang kyai yang berpengaruh di wilayah Sleman, Yogyakarta. ayahnya adalah seorang pendidik yang banyak mendirikan lembaga pendidikan. Semangat melakukan pendidikan kepada masyarakat ini memberi inspirasi anak-anaknya kelak yang banyak bergerak di dunia pendidikan. Sekalipun anak-anaknya perempuan, di kemudian hari mereka semua bergerak di dunia pendidikan. Khusus Chodijah Djumali, nantinya ia mendirikan perguruan Darul Ulum.
Pendidikan dasar Chodijah dimulai dari Madrasah yang didirikan ayahnya, Madrasah Mabdaul huda (1949) di Kemusuh. Pendidikan ini dia jalani kurang lebih 6 tahun. Selepas dari Madrasah Mabdaul Huda, Chodijah oleh ayahnya dimasukkan pendidikan Pesantren di Al Munawir Krapyak. Chodijah masuk pesantren Al Munawir Krapyak ditemani adiknya Romlah di bawah bimbingan K Abdul Qodir Munawir. Ia dan adiknya masuk Pondok Pesantren Putri Krapyak (PPPK). Untuk pendidikan formalnya, Chodijah masuk pendidikan muallimat (1955-1961) di Ngampilan 15 Yogyakarta.

Pada tahun 1961, Chodijah melanjutkan pendidikan tinggi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di sana dia mendapatkan gelar sarjana Muda. Sejak muallimat dan selama masa kuliah, selain belajar dan kuliah, Chodijah aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Putra Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) cabang Yogyakarta. Keaktifan inilah yang menyebabkan ketika Universitas Al Azhar merayakan 1000 tahun usia perguruan tinggi tersebut membuka program pendidikan untuk mahasiswa perempuan yang pertama sejak kampus itu didirikan. Dalam kesempatan itu Indonesia mendapatkan jatah untuk mengirim mahasiswa perempuan. Chodijah terpilih mewakili IPPNU untuk menjadi peserta pendidikan yang dibuka untuk mahasiswi tersebut. Indonesia diberi hak mengirim 6 perempuan sebagai perwakilan indonesia. Mereka itu adalah 2 orang dari Yogyakarta, yaitu Chodijah  dan 1 orang dari perwakilan Muhammadiyah dari kauman, Masringah (Demak), Masjida Lubis (Medan), Nur Faris (Jakarta), Muzainah.

Mungkin dirinya tidak mengira perjalanan hidupnya akan membawanya melanglang dunia, menyelesaikan sarjana di Universitas al Azhar  Kairo Mesir yang terletak di Benua Afrika dan pada akhirnya mengabdikan ilmunya di ibukota negara Indonesia, Jakarta. Sebagai gadis kelahiran di desa, Chodijah  awalnya hanya menuruti keinginan orang tuanya, yaitu ayahnya KH Djumali, setamat sekolah dasar Mabdaul huda di Kemusuh, di dusun yang tidak jauh dari rumahnya. dia dimasukkan pesantren. Dia dikirim ke pesantren oleh ayahnya bersama adiknya Romlah  ke pesantren Al Munawir Krapyak di Bantul Yogyakarta. Chodijah dimasukkan di Madrasah muallimat. Namun sejak itu, Chodijah seakan dilepaskan dari busurnya kemudian menemukan arah terbangnya sendiri yang kemudian akan menjadi warna dari hidupnya.

Di Kairo Mesir, Chodijah menemukan pasangan hidupnya seorang Pemuda yang berasal dari Jakarta bernama Mahfudz Basyir. Mereka menikah pada tahun 1968 di Kairo Mesir. Chodijah dengan wali yang diwakilkan oleh ayahnya kepada seorang pegawai Pengadilan Agama bernama Sakhur Khoiri, yang kebetulan menunaikan ibadah haji ke mekah. Untuk kepentingan pernikahan ini, Sakhur Khoiri meneruskan penerbangan ke Mesir untuk menjalankan amanah menikahkan Chodijah.   Di kairo ini, Chodijah sempat melahirkan anak yang pertama yang diberi nama Ahmat Tsarwat. Pendidikan di Al-Azhar ini dengan cepat bisa diselesaikan, dan Sepulang dari al azhar, dia aktif sebagai Mubalihgot di lingkungan majelis Taklim Ibukota negara RI, Jakarta.

Pada tahun 1971, Chodijah beserta suaminya  pulang dari Kairo Mesir dan langsung tinggal mengikuti suaminya yang kebetulan nantinya dekat dengan daerah Segitiga emas Kuningan di Jakarta, tepatnya Pedurenan masjid, Kuningan jakarta Selatan. Mengawali hidup di Indonesia, Chodijah sempat melamar pekerjaan di Kampus IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta. Untuk beberapa saat, Chodijah sempat mencoba mengajar di IAIN Sunan kalijaga sebagai dosen luar biasa. Namun karena secara tehnis, pulang pergi jakarta-Yogyakarta  sangat merepotkan maka dia memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaanya sebagai dosen.

Keputusan tidak meneruskan  menjadi dosen, membuat Chodijah berfikir cepat untuk putar haluan dalam menyebarkan ilmunya. Akhirnya ia memilih untuk mulai berkiprah secara langsung membina masyarakat lewat pengajian, majelis taklim dan mendirikan lembaga pendidikan di Jakarta. Dua peran sekaligus diperankan oleh Chodijah yaitu sebagai ibu rumah tangga dan mengajar secara informal di tengah masyarakat.

Saat itu debutnya dimulai dengan mengajar formal dan informal. Mengajar secara formal dengan menjadi guru agama di Madrasah Muallimin setingkat Tsanawiyah/Aliyah pada Yayasan Rumah Pendidikan Islam (RPI) dibawah kepemimpinan KH. Abdus Syakur Chairy di bilangan Kuningan. Kegiatan mengajar di madrasah Muallimin ini berjalan di sore hari. Sedangkan mengajar secara non formal adalah mengajar membaca Al-Quran, fiqih, ibadah, akhlaq, dan qashidah, yang dijalankan di rumah sendiri dalam bentuk pengajian putri dan para ibu. Kegiatan ini umumnya dijalankan pada sore dan malam hari.

Selain kedua kegiatan rutin ini, KH. Abdus Syakur Chairy pada tahun 70-an mulai membuat terobosan dengan mendirikan majelis taklim khusus kaum ibu. Biasanya pengajian untuk kaum ibu hanya sekedar kumpul-kumpul membaca dzikir, Yasin, tahlil atau membaca maulid Al-Barzanji dan selesai. Namun beliau menanamkan bahwa majelis kaum ibu harus ada ilmu yang diajarkan. Awalnya beliau sendiri yang mengajar, baik ilmu fiqih, ibadah, muamalah, dan lainnya. Namun dengan hadirnya H. Chodidjah Djumali, pekerjaan itu pun diserahkan kepadanya. Maka mulailah sejarah awal majelis taklim kaum ibu di kalangan masyarakat Betawi asli tradisional yang berisi kajian ilmiyah, penyampaian materi keagamaan dengan menggunakan kitab-kitab kuning baik berbahasa Arab ataupun dalam bentuk Arab pegon, bukan sekedar majelis dzikir semata. 

Selanjutnya, untuk memajukan pendidikan umat, semangat orang tuanya di Kampung yang mendirikan lembaga pendidikan madrasah menginspirasi Chodijah untuk melakukan hal yang sama. Langkah pertama yang dikerjakan adalah melakukan pemberantasan buta huruf pada masyarakat. Satu hal yang menarik dari fenomena masyarakat wanita di Jakarta di awal tahun 70-an adalah masih sedikitnya kaum ibu dan perempuan yang bisa membaca dan menulis. Oleh karena itu, salah satu terobosan yang pernah dijalankan adalah membuka kelas pelajaran membaca dan menulis, baik huruf Arab atau pun huruf latin. Maka dibukalah program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) dan pemberantasan Buta Huruf Arab (PBHA).
Maka pada tahun 1976, ia merintis lembaga pendidikan madrasah di rumahnya yang diberi nama perguruan Darul Ulum. Madrasah itu mulai dibuka pada tanggal 1 mei 1976. Bersama-sama dengan masyarakat sekitar, Chodijah dibantu suaminya menyelenggarakan pendidikan untuk masyarakat sejak paling dini yaitu Taman Kanak-kanak, yang diteruskan ke jenjang berikutnya, yaitu Madrasah Ibtidaiyah. Kemudian  pada tahun 1982 membuka Madrasah tsanawiyah untuk kelanjutan lulusan dari Madrasah Ibditaiyah. Dilanjutkan tahun 1985 membuka Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), yang kini berubah nama menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Selain mengelolan pendidikan formal, Chodijah juga aktif di Muslimat nahdhatul Ulama (NU) Pusat. Di dalam kepengurusan Muslimat, dia selalu duduk di bidang dakwah. Maka ketika Muslimat menggagas badan otonom Muslimat yaitu Himpunan Daiyah Majlis Taklim Muslimat Nu (HIDMAT NU) ia pernah dipercaya menjadi ketua Hidmat nasional. Keaktifan Chodijah dalam berhubungan dengan umat, suatu ketika banyak jamaahnya yang memintanya untuk mendirikan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH).  Harapan itupun dipenuhi dengan mendirikan KBIH dibawah payung hukum yayasan yang didirikannya, yayasan Darul Ulum. Maka jadilah KBIH Darul Ulum. Karena aktifitas barunya ini, Chodijah sudh memberangkatkan haji sebanyak 9 kali.
Kepiawaian Chodijah dalam memberikan ceramah keagamaan dan luasnya pergaulan sehingga oleh Kementerian Agama ia dipercaya untuk ikut mengelola Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) dengan berkantor di  Masjid Istiqlal ruang 66. Di lembaga itu tugas beliau antara lain memberikan nasehat-nasehat kepada rumah tangga dan suami istri yang sedang bermasalah.

Sebagai pendidik, keinginan untuk menambah ilmu masih dilakukan Chodijah. Salah satunya, di usia yang telah lanjut, ada satu terobosan yang pernah dilakukan, yaitu keinginan untuk meneruskan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Padahal kalau dipertimbangkan, kegiatan beliau sudah cukup padat, mulai dari membina majelis taklim, mengurus rumah tangga, membina Yayasan Daaarul-Uluum, aktif di berbagai organisasi. Namun semangat menggebu untuk berlajar menambah ilmu agama tidak pernah padam. Maka beliau kemudian mendaftarkan diri para program Pasca Sarjana di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta, dan terdaftar sebagai angkatan pertama pada awal  tahun 2000. Dan meraih gelar Magister dua tahun kemudian dengan tesis “Wanita Karir Dalam Perspektif Al-Quran” dengan nilai Cum Laude.

Selain sebagai penceramah aktif, dia juga banyak menulis buku. Sebagian karya itu ditulisan aksara pegon, yaitu naskah berhuruf arab dengan bahasa melayu. Pertimbangannya pada saat itu bahwa ibu-ibu majelis taklim lebih melek huruf Arab pegon ini ketimbang huruf lain. Sedangkan teks Arab yang asli pun kurang dikuasai. Maka ada beberapa buku yang sengaja ditulis dengan teks Arab dan disertai terjemahan dalam aksara Arab pegon sebagai penjelas. Namun bukan berarti semua karya tulis dibuat dalam format itu. Ada beberapa buku yang semata ditulis dalam bahasa Indonesia baku, salah satunya adalah buku tentang Sejarah Fatayat NU, Jakarta: PP Fatayat NU, 1982.

Mulai tahun 2001, dia didera penyakit pengeroposan tulang atau oestoporosis. Sejak itu, mengingat dia harus menjaga kesehatan maka aktifitas sosial mulai dikurangi. Entoh begitu, pada peran-peran yang masih dia jalankan, Chodijah masih berusaha melayani umat seperti berceramah. Di ujung kehidupannya, satu doa yang nampaknya ia mintakan kepada allah dan dikabulkan adalah keinginan agar hidupnya disampaikan pada kewajiban orang tua menikahkan anaknya. Maka sewaktu menikahkan anaknya yang keempat (anak bungsu), pada tahun 2008  Chodijah  masih berkesempatan menyaksikan acara syukuran pernikahan anaknya di rumah besannya di Ponorogo Jawa Timur. Sekembali dari Ponorogo inilah, sesampai di Jakarta, Allah merasa telah mencukupkan kewajiban Chodijah sebagai orang tua dan pemuka ummat. Chodijah dipanggil pulang oleh Sang Pemilik untuk selama-lamanya.[]  
 
Referensi
Ahmad Tsarwat (anak Chodijah Djumali), Wawancara tanggal 21 Nopember 2014
Azzah Zumrud (Keponakan Chodijah Djumali sekaligus aktifis Muslimat Pondok Cabe), Wawancara tanggal 22 Nopember 2014
Romlah Djumali (Adik Chodijah Djumali),  Wawancara tanggal 20 Nopember 2014