KH Djumali adalah salah satu keluarga Bani Sholeh yang tinggal di Pokoh Banyurejo Tempel Sleman Yogyakarta. Dia menikah dengan putri ke lima dari KH Sholeh Jonggrangan bernama Muhsinah. Ia dilahirkan dari keluarga yang cukup berada di Dusun Pokoh, pada sekitar tahun 1905. Ayahnya adalah Simbah Mangun Tirto, yang merupakan cucu dari Simbah Hasan Munawar. Mbah Kyai merupakan anak kedua, atau anak tertua laki-laki. Kakaknya seorang perempuan, dan adik-adiknya 3 (tiga) orang laki-laki semua.
Djumali muda sadar bahwa untuk maju dan memajukan dusunnya, antara lain dengan cara menjadikan dirinya maju. Maka sejak muda dia telah mengembara dari pesantren ke pesantren. Beberapa pesantren yang pernah dijadikan tempat dia belajar dan mengaji, antara lain Pesantren Glaeng, Pesantren Watucongol, dan Pesantren Termas. Di antara pesantren-pesantren itu, yang paling besar mempengaruhinya adalah Pesantren Termas, Pacitan Jawa Timur. Di sanalah tempat di mana sistem madrasi dikenalkan di dunia pesantren. Penggagasnya adalah KH Ali Maksum yang nantinya menjadi pengasuh Pondok Pesantren al-Munawir Krapyak, Yogyakarta. Dari hasil mondok di Pesantren Termas, nampaknya Djumali mengenal dua hal, yaitu: organisasi sebagai suatu gagasan modernisasi, dan sistem pendidikan madrasi. Gagasan organisasi modern terwujud dalam kiprahnya menjadi penggerak dan aktifis Organisasi Sosial Keagamaan Nahdatul Ulama. Sedang sistem madrasi diwujudkan dalam penyelenggaraan dan pendirian lembaga pendidikan yang digelutinya, khususnya di daerah Kecamatan Tempel.
Sepulang dari Pesantren termas (1939), Djumali menikah dengan Muhsinah, putri dari KH Sholeh Jongrangan. Tiga tahun kemudian (1942) Djumali merintis lembaga pendidikan modern di daerah Sleman. Lembaga pendidikan yang pertama kali dirintis dan dibangun adalah Madrasah Mambaul Huda. Mengambil lokasi di Dusun Kemusuh Desa Banyurejo. Sayang, keberlangsungan penyelenggaraan madrasah itu tidak bisa lestari sampai sekarang. Mungkin karena jauhnya lokasi madrasah dari rumahnya, sehingga pengawasan penyelenggaraan dan pengelolaannya tidak ditangani secara langsung oleh Mbah Kyai. Sementara orang lain yang terlibat dalam madrasah tersebut kurang memahami dengan pendidikan sistem madrasi.
Bisa jadi ini adalah madrasah pertama di Kabupaten Sleman, mengingat di lingkungan pesantren system pendidikan madrasah diperkenalkan pertama oleh KH Ali Maksum yang sama-sama lulusan dari Pesantren termas. Bedanya Kalau KH Ali Maksum menggagas madrasah di Pesantren Al Munawir Krapyak, sedangkan Djumali menggagas di dusun Kemusuh Banyurejo Tempel Sleman.
Tahun 1955, Djumali melaksanakan ibadah haji ke Makkah dengan menggunakan kapal laut. Turut menyertai perjalanannya ini adalah adiknya, Robingin. Sebagai ongkos naik haji, Robingin menyerahkan sawahnya sebagai ganti ongkos perjalanan haji. Djumali dan Robingin adalah orang pertama di Dusun Pokoh yang diberi kemampuan dan kemauan untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan ibadah haji itu sendiri menyita waktu cukup panjang. Dari pergi sampai pulang menghabiskan waktu tidak kurang dari 6 (enam) bulan.
Tahun 1973, bersama dengan beberapa tokoh masyarakat Desa Banyurejo membuka kembali madrasah yang berbadan hukum, yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Huda, suatu lembaga pendidikan tingkat dasar yang lebih banyak mengajarkan pendidikan agama. Pemilihan tempat penyelenggaraannya jatuh di Dusun Pokoh, yang langsung bisa diawasi Mbah Kyai. MI itu kemudian dinamakan MI Nurul Huda. Sebagai pengukuh penyelenggara pendidikan di MI maka dibentuk suatu yayasan bernama Yayasan Sosial Nurul Huda. Yayasan ini dibuatkan akta di hadapan seorang notaris RM Soerjanto Partaningrat, SH yang berkantor di Yogyakarta, dengan Nomor 8, tanggal 6 April 1973. Sebagai saksi-saksi notaris, yaitu: Mohammad Sanusi (Salam Magelang), Drs. Ahmad Miftah Baidlowi (Ngentak Tempal), dan Drs. Ahmad Dawud Muhammad Noor (Wonokerso Tempel). Penanggungjawab yayasan, yaitu: KH Djumali (Pokoh), dan Hadi Sutrisno (Blimbingan Tambakrejo).
Yayasan Sosial ini cukup berkembang. Terutama dikembangkan oleh anak-anak dan cucu Mbah Kyai. Perkembangan itu terwujud dengan ada dan terselenggarnya Madrasah Tsanawiyah (MTs) Nurul Huda, Majelis Ta’lim, Panti Asuhan Yatim Piatu, Pondok Pesantren, Jama’ah Pengajian Janda dan Dhu’afa, Koperasi Pondok Pesantren, Jama’ah Mujahadah kelompok tertentu misalnya tukang, Jama’ah Simakan al-Qur’an, dan lain-lain. Surut dan berkembangnya kegiatan dari lembaga-lembaga ini menjadi biasa seiring berjalannya waktu. Ketika dalam tahap paling berkembang, banyak lembaga pendidikan lain ikut tergabung misalnya SMP NU Tempel, SPG NU Tempel, SMA NU Tempel, STM Ma’arif Salam, meski pelibatannya hanya dalam tahap penyelenggaraan lokal. Namun tetap mempunyai andil.
Mbah Kyai sendiri mengembangkan kelompok pengajiannya untuk orang-orang tua. Diselenggarakan setiap Sabtu sore, dengan pembacaan kitab tafsir al-Ibriz, karya KH Bisri Musthofa Rembang. Juga kitab-kitab tipis lain semacam al-Arba’in Nawawiyah, ‘Aqidatul ‘Awam, dan lain-lain. Sepeninggal Mbah Kyai pernah diteruskan menantunya Ahmad Badawi, namun belakangan kelompok ini bubar, karena pesertanya sudah banyak yang meninggal.
Sebagai Pamong Desa Banyurejo, Mbah Kyai aktif menjalankan program di bidang keagamaan dari Pemerintah, yaitu program Peningkatan dan Pengamalan Agama (P2A). Program ini membuat dan menyusun kepanitiannya secara otonom, bergabung antara pejabat pemerintah dengan tokoh masyarakat. Kegiatannya yang nampak monumental adalah Lailatul Ijtima’, diselenggarkan secara bergilir di setiap masjid yang ada di Desa Banyurejo. Takmir Masjid penyelenggara acara itu di Desa Banyurejo ada 7 (tujuh), yaitu dari masjid: Pokoh, Kerisan, Gangsiran, Senoboyo, Kemusuh, Nglengis, dan Karang Wetan. Diselenggarakan setiap tanggal 15 bulan-bulan Muharam. Jenis kegiatannya adalah shalat hajat berjama’ah, shalat gaib, dan taushiyah (pengajian). Waktu itu kegiatan Lailatul Ijtima’ banyak diikuti warga masyarakat dan berkembang bagus di Desa Banyurejo. Kemakmurannya mengantarkan Desa Banyurejo mempunyai status juara, dibanding penyelenggaraan di desa-desa lain se Kecamatan Tempel.
Mbah Kyai juga aktif di Kepengurusan Nahdatul Ulama Cabang Sleman. Menduduki posisi Mustahsyar, seperti beberapa Kyai sepuh yang lain. Kegiatan pertemuan sering dilakukan pada hari Jum’at Kliwon setelah Jama’ah Shalat Jum’at. Dilakukan secara bergiliran, bergantian di antara rumah para kyai di Kabupaten Sleman. Sebagai pengisi acara pengajiannya adalah KH Imam Abu Tauhid, seorang Kyai sekaligus Dosen IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta. Kitab yang sering dibaca adalah Kitab Syarkh at-Taqrib, Fathul Mujib al-Qorib tulisan Dr. Mushtofa Dibul Biga. Selepas mengaji diteruskan dengan musyawarah. Sering Mbah Kyai angkat bicara mengkritik disiplin organisasi yang lemah, sistem adminstrasi yang amburadul, sampai pada pilihan-pilihan sikap politik organisasi yang tetap harus kritis dan mandiri. Misalnya, ketika Jam’iyah NU memutuskan penerimaan organisasi sosial keagamaan NU terhadap Pancasila sebagai asas tunggal. Mbah Kyai berpendapat, urusan Jam’iyah NU dengan pemerintah itu kan cuma urusan politik, bukan ideologi atau ketauhidan. Maka, syah saja sepanjang itu tidak merugikan kepentingan NU dan penyelenggaraan negara. Apalagi kesepakatan musyawarah dan putusan NU sudah demikian, maka meski kita sedikit bermasalah dengan keputusan penerimaan itu, sebagai anggota Jam’iyah harus tunduk pada putusan organisasi. Kalau dia tidak mau menerima putusan organisasi karena ada yang tidak sreg dengan isi kepalanya, maka silakan keluar dari organisasi. Luar biasa, suatu prinsip tegas yang perlu dicontoh. Banyak orang terhenyak kagum mendengar ucapan dan pendapat Mbah Kyai, tidak menyangka seorang Kyai tua, penampilannya sederhana, namun dalam menyampaikan pendapatnya masih cukup brilian, tegas, dan berani. Mengalahkan golongan yang lebih muda, yang masih sering hanya menunjukkan sikap ikut-ikutan.
by : Dr. H. Muhamad Murtadlo, S.Ag, M.Ag | dibaca 14384 kali
BACA LAINNYA :